Oleh: Anggi Herman, S.H.
A. LATAR BELAKANG
Pada penghujung tahun 2019 China melaporkan sebuah penyakit baru, kantor Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di China mendapatkan pemberitahuan tentang adanya sejenis pneumonia yang penyebabnya tidak diketahui.
Infeksi pernapasan akut yang menyerang paru-paru itu terdeteksi di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China. Beberapa waktu kemudian, tepatnya 11 Februari 2020, WHO mengumumkan penyakit yang disebabkan oleh virus baru ini disebut Covid-19.
Hampir satu tahun berlalu, penyakit yang ditetapkan sebagai pandemi ini masih belum teratasi. Bahkan laporan terakhir menunjukan jumlah orang terinfeksi sudah mencapai 60 juta orang di seluruh dunia. Sedangkan di Indonesia, virus ini sudah menjangkit lebih dari setengah juta jiwa. Berbagai kebijakan sudah dikeluarkan Pemerintah Indonesia untuk menekan penularan virus ini. Dimulai dari menjaga jarak, memakai masker, larangan berkumpul dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Pandemi membawa banyak perubahan di tengah masyarakat, tidak terkecuali di bidang ekonomi. PHK massal, mengurangi produksi, sampai dengan menutup usaha. Hal ini dilakukan agar mengurangi biaya yang tidak perlu dikarenakan menurunnya pendapatan. Selain itu, dalam utang piutang pun terjadi hal demikian. Banyak debitur yang tidak melaksanakan kewajibannya sesuai dengan isi perjanjian atau kontrak yang sudah dibuat.
Secara konsep, ketika debitur tidak mampu memenuhi kewajibannya, maka hal tersebut sudah masuk ke ranah wanprestasi sesuai dengan Pasal 1243 KUHPerdata. Ketika sudah dinyatakan wanprestasi maka seharusnya pihak debitur wajib melakukan pembayaran penggantian biaya, kerugian dan bunga. Akan tetapi melihat kondisi pandemi saat ini, sampai akhirnya Presiden menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), terdapat beberapa debitur yang seakan berlindung dengan adanya pandemi.
Banyak dari debitur menyatakan dirinya dalam keadaan force majeure. Dalam kenyataan memang hampir pada semua kontrak atau perjanjian ditemukan klausula force majeure atau keadaan memaksa. Klausula ini termasuk unsur naturalia dari suatu kontrak atau perjanjian, sehingga klausula ini baik disebutkan maupun tidak sudah dianggap ada dalam suatu perjanjian.
Lalu apakah bisa dibenarkan secara hukum pernyataan debitur yang menyatakan dirinya dalam keadaan force majeure terkait dengan adanya pandemi?
Pada topik kali ini, penulis tertarik untuk mengulas mengenai apakah debitur yang menyatakan dirinya dalam keadaan force majeure dengan alasan pandemi dibenarkan menurut hukum.
Pembahasan akan dilakukan secara objektif dengan menitik beratkan pada analisis yuridis berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku positif di Indonesia.
C. ANALISA HUKUM
Pandemi Yang Dijadikan Alasan Untuk Force Majeure
Saat ini pandemi Covid-19 menjadi perdebatan antar debitur dan kreditur dalam dunia usaha. Pihak debitur yang memiliki kewajiban prestasi menjadikan keadaan pandemi sebagai alasan untuk membebaskan diri dari kewajibannya memenuhi dalam prestasi, bahkan ada sebagian pelaku usaha yang menjadikan keadaan pandemi sebagai alasan pembatalan perjanjian yang sudah ada. Terlebih ketika Pemerintah menerbitkan beberapa payung hukum penanganan Covid-19, salah satunya Keputusan Presiden No. 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai bencana nasional. Terbitnya regulasi tersebut justru semakin menimbulkan polemik di masyarakat.
Sebenarnya, saat debitur tidak mampu memenuhi kewajibannya, maka hal tersebut sudah masuk ke ranah wanprestasi sesuai dengan Pasal 1243 KUHPerdata.
Kategori dari wanprestasi terdiri dari tiga unsur yaitu, tidak melakukan prestasi sama sekali, melakukan prestasi tapi tidak sesuai dengan yang diperjanjikan, dan melakukan prestasi namun tidak tepat waktu. Ketika debitur telah dinyatakan wanprestasi, maka wajib bagi debitur utuk melakukan pembayaran baik berupa penggantian biaya, kerugian maupun bunga.
Secara umum, kondisi pandemi tidak bisa dikatakan sebagai force majeure, kecuali hal tersebut secara tegas dinyatakan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan debitur. Pernyataan force majeure pun harus ditegaskan pada situasi dan kondisi seperti apa dan sesuai dengan karakter atau sifat perjanjian yang dibuat oleh para pihak.
Ketika force majeure dijadikan alasan oleh debitur untuk tidak melaksanakan kewajibannya, di sanalah pentingnya bagi setiap orang untuk mengetahui pengaturan hukum dari force majeure itu sendiri.
Pengaturan mengenai force majeure diatur dalam Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUHPerdata. Dalam pasal tersebut memang tidak menyebutkan definisi secara eksplisit apa itu force majeure, akan tetapi melalui pasal tersebut dapat mengindentifikasi unsur-unsur suatu keadaan dapat dikatakan sebagai force majeure.
Unsur-unsur force majeure menurut Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata antara lain adalah :
1. Peristiwa yang tidak terduga;
2. Tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur;
3. Tidak ada itikad buruk dari debitur;
4. Adanya keadaan yang tidak disengaja oleh debitur;
5. Keadaan itu menghalangi debitur berprestasi;
6. Jika prestasi dilaksanakan maka akan terkena larangan.
Force majeure dapat dibedakan atas 2, yaitu absolut dan relatif. Force majeure absolut adalah perjanjian yang menjadi batal. Alasannya, karena hambatan yang terjadi bersifat permanen, sehingga memang betul-betul tidak memungkinkan prestasi bisa dilakukan. Artinya, pemulihan dilakukan kembali seperti keadaan semula, seolah-olah tidak pernah terjadi perikatan. Sedangkan force majeure relatif adalah suatu kondisi dimana si debitur masih dimungkinkan melakukan prestasi tapi dengan pengorbanan yang besar. Force majeure relatif hambatan untuk melakukan prestasi itu temporary atau sementara saja. Dengan begitu, force majeur relatif tidak menyebabkan perjanjian batal, melainkan hanya sebatas ditangguhkan.
Dalam kenyataan memang hampir pada semua kontrak atau perjanjian ditemukan klausula force majeure atau keadaan memaksa. Klausula ini termasuk unsur naturalia dari suatu perjanjian, sehingga klausula ini baik disebutkan maupun tidak sudah dianggap ada dalam suatu kontrak atau perjanjian. Biasanya jika dibunyikan dalam perjanjian, maka klausula force majeure akan ditulis sebagai berikut:
"Tidak ada satupun pihak yang berhak bertanggung jawab apabila terjadi kegagalan atau keterlambatan yang ditentukan dalam perjanjian jika hal itu disebabkan oleh keadaan yang memaksa (force majeur) yang meliputi peristiwa-peristiwa diluar kekuasaan manusia, seperti gempa bumi, banjir bandang, dll."
Selain itu, dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang menetapkan bahwa Covid-19 merupakan bencana non-alam sebagai bencana nasional. Kemudian merujuk pada Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang menyatakan bahwa:
"Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis."
Berdasarkan uraian di atas, maka pandemi Covid-19 dapat dikatakan sebagai force majeure harus dilihat terlebih dahulu waktu pelaksanaan prestasinya. Jika wanprestasi sudah terjadi sebelum ditetapkan pandemi sebagai bencana non-alam nasional, maka debitur tidak bisa menyatakan dirinya force majeure. Namun, jika wanprestasi terjadi sesudah adanya pandemi, maka hal itu baru bisa disebut sebagai force majeure.
Selain itu, juga harus dilihat apakah di dalam perjanjian sudah dibuatkan klausula mengenai force majeure sebagai akibat dari pandemi. Jika sudah, maka dilihat dari isi perjanjiannya kapan rentang waktu bagi salah satu pihak untuk melaporkan kepada pihak lainnya, bahwa dirinya dalam keadaan force majeure akibat pandemi. Jika belum dibuatkan dalam perjanjian, maka berhubung force majeure termasuk unsur naturalia dari suatu perjanjian, yang mana klausula ini baik disebutkan maupun tidak, maka sudah dianggap ada dalam suatu perjanjian. Artinya, ada atau tidaknya mengenai force majeure sebagai akibat dari pandemi tetap saja pihak yang terdampak tersebut tetap harus melaporkan kepada pihak lainnya.
Pada saat debitur menyatakan dirinya force majeure akibat pandemi, maka force majeure tersebut hanya bersifat relatif. Artinya, debitur memang terhalang untuk melaksanakan prestasi dan pemenuhan prestasi dari sebuah perjanjian tidak mungkin dilakukan tetapi hanya untuk sementara waktu dan setelah pandemi berhenti, prestasi tersebut dapat dipenuhi kembali. Terhalangnya kewajiban debitur tidak bersifat permanen, melainkan hanya bersifat sementara waktu saja, yaitu selama terjadinya wabah pandemi Covid 19. Hal ini berbeda dengan force majeure yang bersifat absolut, dimana sampai kapanpun suatu prestasi yang terbit dari kontrak tidak mungkin dilakukan lagi.
Keadaan pandemi Covid-19 yang dapat dikualifikasikan sebagai force majeure tentunya menimbulkan implikasi hukum terhadap perjanjian yang sudah dibuat oleh para pihak.
Mengacu pada Pasal 1245 KUHPerdata, apabila debitur terhalang untuk memenuhi kewajiban akibat force majeure, maka debitur tidak diwajibkan membayar ganti rugi, biaya, denda, dan bunga. Debitur juga tidak dapat dinyatakan wanprestasi maupun lalai karena terhalangnya pemenuhan prestasi diluar kendali para pihak.
Selain itu, akibat hukum dari pandemi sebagai force majeure yang bersifat relatif adalah bahwa para pihak tidak dapat menjadikan keadaan pandemi sebagai alasan pembatalan perjanjian (kecuali bila disepakati di dalam perjanjian). Force majeure yang bersifat relatif hanya menunda atau menangguhkan kewajiban debitur untuk sementara waktu bukan membatalkan isi dari perjanjian, perjanjian tetap sah dan mengikat para pihak. Terjadinya pandemi Covid-19 hanya bersifat menunda pemenuhan kewajiban debitur kepada kreditur dan tidak menghapuskan sama sekali kewajiban debitur kepada kreditur.
Selanjutnya, untuk melindungi kepentingan para pihak dan memastikan debitur untuk tetap memenuhi kewajiban prestasinya, maka negosiasi ulang terhadap isi perjanjian penting untuk dilakukan. Sehingga, para pihak dapat mengatur kembali hal-hal apa saja yang dapat mereka buat di dalam perjanjian untuk melindungi kepentingan para pihak guna menyikapi pandemi.
Pandemi membawa banyak perubahan di tengah masyarakat, tidak terkecuali di bidang ekonomi. PHK massal sampai masalah utang piutang pun mengalami gejolak. Banyak debitur yang tidak melaksanakan kewajibannya sesuai dengan isi perjanjian atau kontrak yang sudah dibuat. Secara konsep, ketika debitur tidak mampu memenuhi kewajibannya, maka hal tersebut sudah masuk ke ranah wanprestasi sesuai dengan Pasal 1243 KUHPerdata. Namun melihat kondisi pandemi saat ini, terdapat beberapa debitur yang seakan berlindung dengan adanya pandemi. Banyak dari debitur menyatakan dirinya dalam keadaan force majeure. Lalu apakah bisa dibenarkan secara hukum pernyataan debitur yang menyatakan dirinya dalam keadaan force majeure terkait dengan adanya pandemi?
Pandemi Covid-19 dapat dikatakan sebagai force majeure, akan tetapi harus dilihat terlebih dahulu waktu pelaksanaan prestasinya. Jika wanprestasi telah terjadi sebelum ditetapkan pandemi sebagai bencana non-alam nasional, maka debitur tidak bisa menyatakan dirinya force majeure. Namun, jika wanprestasi terjadi sesudah adanya pandemi, maka itu baru bisa disebut sebagai force majeure.
Pada saat debitur menyatakan dirinya force majeure akibat pandemi, maka force majeure tersebut hanya bersifat force majeure relatif. Artinya, debitur memang terhalang untuk melaksanakan prestasi dan pemenuhan prestasi dari sebuah perjanjian tidak mungkin dilakukan tetapi hanya untuk sementara waktu. Selain itu, juga harus dilihat apakah sebelumnya mengenai force majeure sebagai akibat dari pandemi sudah diatur dalam perjanjian atau belum.
Apabila belum diatur dalam perjanjian, maka dapat digunakan rumusan force majeure yang diatur dalam Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUHPerdata. Terjadinya pandemi Covid-19 hanya bersifat menunda pemenuhan kewajiban debitur kepada kreditur dan tidak menghapuskan sama sekali kewajiban debitur kepada kreditur. Selanjutnya, untuk melindungi kepentingan para pihak dan memastikan debitur untuk tetap memenuhi kewajiban prestasinya, maka negosiasi ulang terhadap isi perjanjian penting untuk dilakukan.
Sekian dan Terima Kasih
*******
Sumber:
1)Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
2)Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19)
3)Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
4)https://news.google.com/covid19/map?hl=id&mid=%2Fm%2F02j71&gl=ID&ceid=ID%3Aid
5)https://bebas.kompas.id/baca/riset/2020/04/18/rangkaian-peristiwa-pertama-covid-19/
7)http://sugalilawyer.com/keadaan-memaksa-atau-force-majeur/
9)https://fjp-law.com/id/pandemi-covid-19-dan-force-majeure-overmacht/
11)https://rechtsvinding.bphn.go.id/jurnal_online/PANDEMI%20COVID19%20APAKAH%20FORCE%20MAJEURE%20.pdf
13)https://www.bepartners.co.id/news/apakah-covid-19-keadaan-kahar-
14)https://irmadevita.com/2020/dapatkah-covid-19-dianggap-peristiwa-force-majeure-dalam-kontrak/
*Artikel ini ditulis oleh Legal Assistant kami, Anggi Herman, SH.
Silahkan hubungi kami apabila anda mempunyai pertanyaan lebih lanjut terkait artikel ini.
Corporate Legal | Litigation | Debt & Asset Recovery
Temukan kami di Social Media
28 Nov 2020