Oleh: Anggi Herman, S.H.
A.LATAR BELAKANG
Manusia sebagai makhluk sosial hidup di dunia yang bebas dan dapat menentukan dirinya sendiri, walaupun sebagai makhluk yang bebas manusia juga memiliki ketergantungan terhadap lingkungannya. Satu hal yang pasti, bahwa selama ada hubungan antar manusia maka akan menimbulkan hubungan hukum pula antar manusia tersebut. Hal ini sejalan dengan orang yang meninggal dunia, dimana terdapat hubungan hukum antara orang yang meninggal dengan orang yang ditinggalkan, baik orang tersebut sebagai ahli waris maupun sebagai pihak lain yang memiliki hubungan hak dan kewajiban diantara keduanya.
Di Indonesia hukum yang mengatur hubungan antara orang yang meninggal dengan orang yang ditinggalkan adalah hukum waris. Hukum waris adalah hukum yang mengatur pembagian warisan kepada sejumlah ahli waris dan mengetahui bagian-bagian yang diterima oleh setiap yang berhak. Hukum waris merupakan bagian dari hukum perdata secara keseluruhan dan hukum kekeluargaan secara bagian kecil. Hukum waris sangatlah penting karena terkait dengan kematian manusia dan harta benda.
Saat ini di Indonesia terjadi pluralisme hukum waris. Hal ini menyebabkan tiga ketentuan hukum waris masih berlaku di Indonesia, yaitu hukum waris adat, hukum waris perdata dan hukum waris islam. Untuk hukum waris islam diatur di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Pada Pasal 171 Huruf a Kompilasi Hukum Islam yang dimaksud dengan hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing. Selanjutnya, huruf c menyatakan bahwa yang disebut sebagai ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Dalam Pasal 171 Huruf a Kompilasi Hukum Islam, jelas dikatakan bahwa yang berhak menjadi ahli waris adalah orang yang mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
Dari keterangan pasal di atas, salah satu hal yang menjadi perdebatan saat ini adalah perihal hak non muslim terhadap warisan. Dalam khazanah fiqh klasik disebutkan bahwa salah satu penyebab terputusnya hak waris seseorang ialah ketika orang tersebut dalam kondisi non muslim (kafir) dan atau dalam kondisi murtad. Perbedaan agama antara pewaris dan ahli waris menjadi salah satu syarat terputusnya hak waris seseorang. Hal ini mendapatkan perdebatan karena dianggap bertentangan dengan nilai universal Islam, yaitu keadilan dan hak asasi manusia.
Kompilasi Hukum Islam sebenarnya sudah mengatur bahwa seseorang akan tetap menjadi ahli waris apabila pewaris telah membuat surat wasiat. Akan tetapi, tidak semua pewaris semasa hidupnya membuat wasiat. Lantas bagaimana dengan seseorang (istri/anak) non muslim dari pewaris muslim untuk mendapatkan warisan, sedangkan pewaris juga tidak meninggalkan wasiat untuk istri/anak tersebut.
Dalam kehidupan sosial yang bebas seperti sekarang ini, hal di atas sangat wajar terjadi. Banyak kita temui seorang istri/suami yang tidak seagama (dalam hal ini agama Islam) ataupun anak yang dilahirkan bukan beragama Islam karena mengikuti agama orang tuanya yang non muslim. Hal lainnya yang mungkin terjadi adalah istri/anak yang keluar dari agama Islam (murtad).
B. POKOK PEMBAHASAN
Pada topik kali ini penulis tertarik untuk mengulas mengenai kedudukan istri/anak non muslim terhadap warisan dari suami yang muslim menurut hukum Islam.
Dari pembahasan akan diulas secara jelas agar masyarakat luas dapat memahami ketentuan yang berlaku (atau seharusnya diberlakukan) dalam penyelesaian masalah ini.
Pembahasan akan dilakukan secara objektif dengan menitikberatkan pada analisis yuridis berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku positif di Indonesia.
C. ANALISA HUKUM
Kedudukan Istri/Anak Non Muslim Terhadap Warisan Dari Suami Yang Muslim
Warisan merupakan perpindahan kekayaan dari seseorang yang meninggal dunia kepada satu atau beberapa orang lainnya. Pengalihan warisan dapat melalui hubungan pernikahan dan hubungan sedarah ataupun melalui wasiat. Di dalam hukum waris islam mengenai kewarisan diatur dalam Kompilasi Hukum Islam buku ke II Pasal 171 sampai dengan Pasal 214.
Di dalam Kompilasi Hukum Islam telah diatur bahwa pewarisan dapat dilakukan melalui hubungan perkawinan, hubungan sedarah maupun melalui wasiat. Mengenai hubungan perkawinan atau hubungan sedarah, selanjutnya dalam Pasal 171 huruf c menyatakan bahwa yang bisa menjadi ahli waris adalah hubungan pernikahan atau keturunan yang seagama dengan pewaris (Islam). Pernyataan tersebut di atas berarti menegaskan bahwa hubungan perkawinan atau keturunan yang tidak beragama Islam maka tidak memenuhi syarat untuk menjadi ahli waris.
Hal di atas tidak menjadi masalah apabila semasa hidupnya pewaris telah membuat surat wasiat yang berisikan pengalihan harta terhadap istri/anaknya yang non muslim. Wasiat dalam sistem hukum Islam di Indonesia belum diatur secara material dalam suatu undang-undang seperti kewarisan barat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Wasiat hanya diatur dalam Kompilasi Hukum Islam Bab V pasal 194 sampai dengan pasal 209 Kompilasi Hukum Islam. Pada Pasal 194 sampai dengan Pasal 208 mengatur tentang wasiat biasa, sedangkan Pasal 209 mengatur tentang wasiat khusus yang diberikan untuk anak angkat atau orang tua angkat.
Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam mengatur bahwa adanya wasiat wajibah, yaitu wasiat yang diperuntukkan kepada ahli waris atau kerabat yang tidak memperoleh harta warisan dari orang yang wafat, karena adanya suatu halangan. Dewasa ini, istilah wasiat wajibah sudah popular di berbagai belahan dunia islam, bahkan sudah menjadi hukum positif di negara-negara islam, termasuk di Indonesia.
Dalam sistem hukum Indonesia wasiat menjadi kompetensi absolut dari Pengadilan Agama (Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama). Dalam menentukan wasiat wajibah, secara yuridis formil terletak pada para hakim Pengadilan Agama seperti dinyatakan dalam Kompilasi Hukum Islam. Secara yuridis formil, ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam khususnya pasal 209 wasiat wajibah hanya diperuntukan bagi anak angkat dan orang tua angkat.
Lalu bagaimana dengan pewaris yang sama sekali tidak meninggalkan wasiat kepada istri/anaknya yang non muslim. Dimana wasiat wajibah berdasarkan pasal 209 hanya diperuntukan bagi anak angkat dan orang tua angkat, sedangkan KHI tidak mengatur lebih lanjut apakah selain kedua pihak tersebut dapat diberikan wasiat wajibah atau tidak. Dalam hal ini, lantas bagaimana istri/anak non muslim tetap bertahan hidup, sementara harta tersebut adalah salah satunya yang bisa menopang kehidupan mereka.
Kompleksitas masyarakat Indonesia membuat hakim harus keluar dari yuridis formil yang ada, yaitu dengan menggunakan fungsi rechtsvinding yang dibenarkan oleh hukum positif apabila tidak ada hukum yang mengatur. Kewenangan tersebut diberikan dalam pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Selain itu, Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 229 juga memberikan kewenangan hakim untuk menyelesaikan perkara dengan memperhatikan sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat sehingga memberikan putusan yang sesuai dengan rasa keadilan.
Di dalam direktori putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan Nomor Katalog 1/Yur/Ag/2018, Mahkamah Agung berpendapat bahwa terhadap permasalahan anak atau istri yang tidak beragama Islam dari pewaris yang tidak meninggalkan wasiat, Mahkamah Agung pada tahun 1998 melalui putusannya No.368 K/Ag/1999 pernah memutus bahwa anak yang pindah agama kedudukannya sama dengan anak lainnya namun tidak sebagai ahli waris melainkan mendapatkan wasiat wajibah. Putusan ini telah memperluas pemberian wasiat wajibah dari yang sebelumnya oleh KHI hanya diatur untuk anak angkat dan orang tua angkat. Putusan pemberian wasiat wajibah kepada anak yang tidak beragama Islam tersebut kemudian diputuskan kembali oleh Mahkamah Agung setahun kemudian yaitu tahun 1999 melalui putusan No. 51 K/Ag/1999 tanggal 29 September 1999.
Selain terhadap anak, pada tahun 2010 yaitu dalam putusan No. 16 K/Ag/2010 tanggal 16 April 2010 Mahkamah Agung juga telah memutus bahwa istri yang berbeda agama (non muslim) yang telah menikah dan menemani pewaris selama 18 tahun pernikahan juga berhak mendapatkan harta waris melalui lembaga wasiat wajibah. Dalam putusan tersebut dipertimbangkan sebagai berikut:
Bahwa perkawinan pewaris dengan Pemohon Kasasi sudah cukup lama yaitu 18 tahun, berarti cukup lama pula Pemohon Kasasi mengabdikan diri pada pewaris, karena itu walaupun Pemohon Kasasi non muslim layak dan adil untuk memperoleh hak-haknya selaku istri untuk mendapat bagian dari harta peninggalan berupa wasiat wajibah serta bagian harta bersama sebagaimana yurisprudensi Mahkamah Agung dan sesuai rasa keadilan;
Menimbang, bahwa oleh karena itu putusan Pengadilan Tinggi Agama Makassar harus dibatalkan dan Mahkamah Agung akan mengadili sendiri dengan pertimbangan sebagai berikut :
Bahwa persoalan kedudukan ahli waris non muslim sudah banyak dikaji oleh kalangan ulama diantaranya ulama Yusuf Al Qardhawi, menafsirkan bahwa orang-orang non Islam yang hidup berdampingan dengan damai tidak dapat dikategorikan kafir harbi, demikian halnya Pemohon Kasasi bersama pewaris semasa hidup bergaul secara rukun damai meskipun berbeda keyakinan, karena itu patut dan layak Pemohon Kasasi memperoleh bagian dari harta peninggalan pewaris berupa wasiat wajibah.
Dari putusan-putusan di atas, maka Mahkamah Agung mengeluarkan yurisprudensi yang menyatakan bahwa, telah konsistennya sikap hukum Mahkamah Agung dalam pemberian wasiat wajibah kepada selain anak angkat dan orang tua angkat yaitu kepada anak dan istri yang tidak beragama Islam. Hal tersebut telah diterapkan oleh Mahkamah Agung secara konsisten sejak tahun 1998 hingga setidaknya tahun 2016.
Oleh sebab itu, wasiat wajibah berarti merupakan kebijakan yang dilakukan penguasa (dalam hal ini hakim) sebagai aparat penegak hukum untuk memaksa atau membuat putusan wajib wasiat bagi orang-orang yang telah meninggal dunia, lalu diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu. Hal ini berarti makna wasiat wajibah adalah seseorang menurut hukum telah menerima wasiat secara nyata. Anggapan hukum itu lahir dari asas apabila dalam suatu hal hukum telah menetapkan wasiat wajibah, maka jika ada atau tidak dibuat wasiat pun, maka wasiat dianggap ada dengan sendirinya.
D. KESIMPULAN
Hukum waris adalah hukum yang mengatur pembagian warisan kepada sejumlah ahli waris dan mengetahui bagian-bagian yang diterima oleh setiap yang berhak. Dalam Pasal 171 Huruf a Kompilasi Hukum Islam, dikatakan bahwa yang berhak menjadi ahli waris adalah orang yang mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
Kompilasi Hukum Islam sebenarnya sudah mengatur bahwa seseorang akan tetap menjadi ahli waris apabila pewaris telah membuat surat wasiat. Akan tetapi, tidak semua pewaris membuat wasiat. Lantas bagaimana dengan seseorang (istri/anak) non muslim dari pewaris muslim untuk mendapatkan warisan, sedangkan pewaris juga tidak meninggalkan wasiat untuk istri/anak tersebut.
Dalam sistem hukum Indonesia wasiat menjadi kompetensi absolut dari Pengadilan Agama. Dalam menentukan wasiat wajibah, secara yuridis formil terletak pada para hakim Pengadilan Agama seperti dinyatakan dalam Kompilasi Hukum Islam.
Secara yuridis formil, ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam khususnya pasal 209 wasiat wajibah hanya diperuntukan bagi anak angkat dan orang tua angkat. Kompleksitas masyarakat Indonesia membuat hakim harus keluar dari yuridis formil yang ada, yaitu dengan menggunakan fungsi rechtsvinding yang dibenarkan oleh hukum positif apabila tidak ada hukum yang mengatur.
Mahkamah Agung pada tahun 1998 melalui putusannya No.368 K/Ag/1999 pernah memutus bahwa anak yang pindah agama kedudukannya sama dengan anak lainnya namun tidak sebagai ahli waris melainkan mendapatkan wasiat wajibah. Putusan ini telah memperluas pemberian wasiat wajibah dari yang sebelumnya oleh Kompilasi Hukum Islam hanya diatur untuk anak angkat dan orang tua angkat.
Selain terhadap anak, pada tahun 2010 yaitu dalam putusan No. 16 K/Ag/2010 tanggal 16 April 2010 Mahkamah Agung juga telah memutus bahwa istri yang berbeda agama (non muslim) juga berhak mendapatkan harta waris melalui lembaga wasiat wajibah. Dari putusan-putusan di atas, maka Mahkamah Agung mengeluarkan yurisprudensi yang menyatakan bahwa, telah konsistennya sikap hukum Mahkamah Agung dalam pemberian wasiat wajibah kepada selain anak angkat dan orang tua angkat yaitu kepada anak dan istri yang tidak beragama Islam.
Sekian dan Terima Kasih
*******
Sumber:
1)Afandi, Ali. 2004. Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian menurut Kitab Undang Undang Hukum Perdata. Rineka Cipta : Jakarta.
2)Rahman, Fathur, Ilmu Waris, Bulan Bintang : Jakarta
3)Muhibuddin, Moh., 2012, Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia, Editor, Muhit A. Karim, Jakarta: Kementerian Agama RI
4)Kompilasi Hukum Islam (KHI)
5)Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
6)Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
7)Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
8)Jurnal : Wasiat Wajibah Dalam Pespektif Hukum Islam Di Indonesia Dan Komparasinya Di Negara-Negara Muslim, Oleh Erniwati
9)https://sugalilawyer.com/pembagian-harta-waris-menurut-hukum-islam-dan-kuh-perdata-bw/
11)https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4803865/pembagian-harta-warisan-menurut-islam
*Artikel ini ditulis oleh Legal Assistant kami, Anggi Herman, SH.
Silahkan hubungi kami apabila anda mempunyai pertanyaan lebih lanjut terkait artikel ini.
Corporate Legal | Litigation | Debt & Asset Recovery
Temukan kami di Social Media
19 Nov 2020