Oleh: Anggi Herman, S.H.
A. LATAR BELAKANG
Perkembangan zaman yang sangat pesat seperti saat ini menuntut banyak orang untuk selalu siap dalam keadaan apapun. Salah satu contohnya adalah pemenuhan kebutuhan pokok, baik itu kebutuhan primer, sekunder ataupun tersier.
Dalam memenuhi kebutuhan hidup, orang mendapatkan uang dari gaji maupun dari hasil usaha yang dilakukan. Akan tetapi, masih banyak pula orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan tersebut, baik untuk memenuhi kebutuhan primernya ataupun hanya sekedar memenuhi gaya hidupnya. Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk mendapatkan uang agar terpenuhinya kebutuhan adalah dengan cara melakukan peminjaman uang atau utang.
Utang dalam arti sempit adalah suatu kewajiban yang timbul hanya dari adanya perjanjian utang-piutang, sedangkan pengertian dalam arti luas utang adalah seluruh kewajiban yang ada dalam suatu perikatan baik yang timbul karena undang-undang maupun yang timbul karena adanya perjanjian.
Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mendefenisikan utang sebagai kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul dikemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau Undang-Undang dan wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor.
Dari definisi diatas, dijelaskan bahwasanya utang adalah sesuatu yang timbul dari sebuah perjanjian. Perjanjian tersebut bisa berupa perjanjian tertulis maupun perjanjian lisan. Biasanya utang yang dibuat dengan perjanjian lisan adalah utang atas dasar saling percaya, misalnya perjanjian utang dengan keberat terdekat yang sangat dipercaya. Lalu yang kedua adalah utang yang dibuat dengan perjanjian tertulis, utang dengan perjanjian tertulis biasanya memuat beberapa hal, misalkan identitas pemberi dan penerima utang, jumlah utang, tanggal jatuh tempo dan lain sebagainya.
Di dalam kehidupan sehari-hari, utang secara lisan atas dasar kepercayaan maupun utang dengan perjanjian tertulis banyak menimbulkan masalah. Saat berjanji secara lisan ataupun tertulis untuk melakukan pelunasan ditanggal jatuh tempo yang sudah ditetapkan, banyak orang yang tidak melaksanakannya. Beberapa alasan yang sering ditemukan adalah seperti belum punya uang, keluarga yang sedang sakit, anak yang sedang butuh biaya besar, bahkan ada yang tiba-tiba menghilang.
Dalam konsepnya, perjanjian pada dasarnya adalah hubungan keperdataan yang diatur dalam KUHPerdata. Apabila orang yang berjanji tidak memenuhi janji yang telah ditentukan, maka berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata orang tersebut dapat disebut telah melakukan wanprestasi atau cidera janji. Namun pada praktiknya, ada orang-orang yang dilaporkan ke polisi karena tidak memenuhi janji yang telah ditentukan. Umumnya, pihak pelapor merasa bahwa orang tersebut telah menipu pelapor karena janji yang harus dilaksanakan ternyata tidak dipenuhi, padahal pelapor telah menyerahkan barang dan/atau uang kepada orang tersebut.
Kondisi diatas menimbulkan permasalahan hukum kapan seseorang yang tidak memenuhi sebuah perjanjian dapat dikatakan telah melakukan wanprestasi, sehingga penyelesaian perkaranya harus dilakukan secara perdata. Selain itu, kapan seseorang dapat dikatakan telah melakukan penipuan yang penyelesaian perkaranya dilakukan secara pidana.
Berdasarkan permasalahan di atas, timbul pertanyaan bagaimana cara terbaik yang dapat dilakukan oleh kreditur untuk menagih utangnya, lalu apakah seseorang dapat dipidana atas dasar tidak melaksanakan pembayaran atas utang.
Pada topik kali ini penulis tertarik untuk mengulas mengenai utang berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Pembahasan akan difokuskan pada beberapa pertanyaan penting yang akan diulas agar masyarakat luas dapat memahami ketentuan yang berlaku (atau seharusnya diberlakukan).
Untuk itu maka penulis mencoba merumuskan beberapa pertanyaan sebagai berikut:
Pembahasan akan dilakukan secara objektif dengan menitikberatkan pada analisis yuridis berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku positif di Indonesia.
Utang merupakan kata yang sering didengar dalam kehidupan sehari-hari. Orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan diri sendiri biasanya melakukan peminjaman sejumlah uang kepada orang lain. Orang yang memberi pinjaman disebut dengan kreditur, sedangkan orang yang meminjam uang disebut dengan debitur.
Setiap orang dalam hidupnya pasti pernah terlibat dalam hal utang piutang, baik sebagai kreditur maupun sebagai debitur. Dalam proses utang piutang pun sering juga terjadi keterlambatan pembayaran dari waktu yang sudah disepakati antara kreditur dengan debitur sehingga apa yang menjadi hak dari pada kreditur menjadi tidak terpenuhi.
Dalam prosesnya, tentu kreditur ingin apa yang menjadi haknya terbayarkan sesuai dengan apa yang diperjanjikan dan juga pihak debitur sebisa mungkin memenuhi apa yang sudah menjadi kewajibannya. Biasanya banyak tidak berjalan sesuai apa yang telah disepakati, bahkan sampai ada yang kesusahan dan kerepotan melakukan penagihan utang sampai berkali-kali.
Dari permasalahan diatas, ada beberapa cara yang dapat dilakukan oleh kreditur dalam hal penagihan utang kepada debitur. Cara-cara tersebut antara lain:
1. Somasi
Somasi diatur di dalam Pasal 1238 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa:
Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yg ditentukan.
Berikutnya, dalam Pasal 1243 KUHPerdata diatur bahwa suatu tuntutan atas wanprestasi sebuah perjanjian hanya dapat dilakukan apabila debitur setelah diberi peringatan tetap melalaikan kewajibannya, peringatan tersebut diberikan secara tertulis. Dengan kata lain, somasi adalah sebuah peringatan dari kreditur kepada debitur untuk melaksanakan kewajibannya (prestasi).
Di dalam hukum acara perdata tidak ada pengaturan mengenai siapa yang dapat mengeluarkan somasi. Hal ini berarti, setiap orang berhak untuk membuat somasi sepanjang ia mempunyai kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum.
2. Gugatan ke Pengadilan Negeri
Gugatan Perdata Ke Pengadilan Negeri merupakan upaya tindak lanjut apabila pihak debitur tetap mengabaikan somasi atau teguran tertulis oleh pihak kreditur. Dalam Pasal 1243 KUHPerdata dijelaskan bahwa apabila debitur lalai untuk memenuhi kewajibannya maka, tuntutan atas wanprestasi yang tidak dipenuhi oleh debitur bisa diajukan ke Pengadilan Negeri apabila si debitur sudah diperingatkan terlebih dahulu melalui somasi.
3. Mengajukan permohonan pernyataan pailit
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyatakan bahwa syarat pengajuan pailit yaitu debitur tersebut harus mempunyai 2 atau lebih kreditur dan juga utangnya sudah jatuh tempo. Tujuan dari permohonan pailit ini adalah untuk memungkinkan debitur mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada Kreditornya.
Pada prinsipnya masalah pinjam meminjam (utang) merupakan lingkup hukum perdata sehingga tidak bisa dibawa ke ranah hukum pidana, namun hal ini pun tidak memiliki larangan. Akan tetapi, harus diingat bahwa berdasarkan Pasal 19 ayat 2 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, menyatakan bahwa :
Tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang.
Hal ini berarti, walaupun ada laporan atau pengaduan seseorang tidak membayar utang, pengadilan tidak boleh memidanakan orang tersebut karena ketidakmampuannya membayar utang.
Selain itu, terdapat beberapa putusan Mahkamah Agung yang berkekuatan hukum tetap juga menegaskan hal yang sama, antara lain yaitu :
1. Putusan No. 598K/Pid/2016
Dalam putusan ini, Mahkamah Agung menyatakan :
Terdakwa terbukti telah meminjam uang kepada saksi Wa Ode Ikra binti La Ode Mera (saksi korban) sebesar Rp4.750.000,00 (empat juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah), namun terdakwa tidak mengembalikan utang tersebut kepada saksi korban sesuai dengan waktu yang di perjanjikan, meskipun telah ditagih berulang kali oleh saksi korban, oleh karenanya hal tersebut sebagai hubungan keperdataan bukan sebagai perbuatan pidana, sehingga penyelesaiannya merupakan domain hukum perdata, dan karenanya pula terhadap terdakwa harus dilepaskan dari segala tuntutan hukum.
2. Putusan No. 1357 K/Pid/2015
Sama dengan putusan diatas, Mahkamah Agung menyatakan bahwa :
Bahwa berdasarkan fakta tersebut, Mahkamah Agung berpendapat bahwa hubungan hukum yang terjalin antara para terdakwa dengan saksi korban adalah hubungan keperdataan berupa hubungan utang piutang dengan jaminan sebidang tanah kebun dan tanah atau rumah milik para terdakwa, dan ternyata dalam hubungan hukum tersebut para terdakwa melakukan ingkar janji atau wanprestasi dengan cara tidak menyerahkan tanah kebun dan tanah atau rumah miliknya kepada saksi korban. Perbuatan para terdakwa tersebut bukan merupakan tindak pidana, akan tetapi perbuatan para terdakwa tersebut merupakan perbuatan yang bersifat keperdataan yang penyelesaiannya dapat ditempuh melalui hukum keperdataan.
Dari beberapa putusan diatas terlihat bahwa pada dasarnya, suatu perkara yang diawali dengan adanya hubungan keperdataan, seperti perjanjian, dan perbuatan yang menyebabkan perjanjian tersebut tidak dapat dilaksanakan terjadi setelah perjanjian tersebut dibuat, maka perkara tersebut adalah perkara perdata dan bukan perkara pidana.
Namun demikian ada beberapa perbuatan tidak melaksanakan perjanjian yang bisa dikategorikan sebagai perbuatan penipuan. Yaitu apabila perjanjian tersebut dibuat dengan didasari iktikad buruk dengan niat jahat untuk merugikan orang lain, maka perbuatan tersebut bukan merupakan wanprestasi melainkan tindak pidana penipuan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi :
Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Mengenai perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai penipuan dalam hal perjanjian dengan iktikad tidak baik, Mahkamah Agung pernah memberikan putusan dalam No. 211 K/Pid/2017, yang berbunyi meskipun hubungan hukum antara terdakwa dan saksi korban Robert Thoenesia awalnya pinjam meminjam uang sebesar Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) untuk modal kerja proyek pengadaan bibit kakao Dinas Perkebunan Propinsi Sulawesi Selatan. Namun, sebelum melakukan pinjaman tersebut terdakwa telah memiliki iktikad tidak baik kepada saksi korban Robert Thoenesia, maka perbuatan materiil terdakwa telah memenuhi seluruh unsur Pasal 378 KUHP (penipuan).
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa untuk dapat menilai apakah suatu wanprestasi termasuk sebagai penipuan atau masalah keperdataan harus dilihat apakah perjanjian tersebut didasari atas iktikad buruk atau tidak.
Perkembangan zaman semakin hari semakin pesat, setiap orang dituntut untuk mampu mengikuti perkembangan yang ada. Salah satunya adalah dalam hal memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, baik itu kebutuhan pokok maupun kebutuhan akan gaya hidup. Dalam memenuhi hal tersebut setiap orang bekerja dan menghasilkan uang, akan tetapi terkadang uang yang sudah ada tidak mampu memenuhi kebutuhan tersebut, lalu akhirnya melakukan peminjaman sejumlah uang (berutang) adalah jalan yang dipilih.
Utang tidak menimbulkan masalah apabila dilakukan dengan pembayaran tepat waktu, namun menjadi masalah apabila debitur tidak memenuhi kewajibannya untuk membayar utang (wanprestasi). Beberapa upaya hukum yang dapat dilakukan oleh kreditur agar debitur membayar utangnya adalah dengan cara somasi, mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri dan mengajukan permohonan pernyataan pailit.
Selain itu, masih banyak ditemui kreditur yang memidanakan debitur karena tidak membayar utang. Namun perlu diingat bahwa Pasal 19 ayat 2 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa tidak seorang pun atas putusan pengadilan boleh dipidana dengan alasan tidak memenuhi perjanjian utang piutang. Hal ini ditegaskan oleh beberapa putusan Mahkmah Agung antara lain putusan No. 598K/Pid/2016 dan putusan No. 1357 K/Pid/2015.
Akan tetapi, ada beberapa perbuatan tidak melaksanakan perjanjian yang dapat dikategorikan sebagai penipuan. Yaitu apabila perjanjian tersebut dibuat dengan didasari iktikad buruk dengan niat jahat untuk merugikan orang lain, maka perbuatan tersebut bukan merupakan wanprestasi melainkan tindak pidana penipuan. Ini ditegaskan oleh Mahkamah Agung dalam putusan dalam No. 211 K/Pid/2017.
Sekian dan Terima Kasih
*******
Sumber:
1)Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
2)Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
3)Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
4)Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
5)Direktori Putusan Mahkamah Agung
6) https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl3370/tentang-somasi/
7) http://nandoxodnan.blogspot.com/2013/09/pengertian-utang-kreditor-dan-debitor.html
8)https://www.hukum-hukum.com/2018/12/digugat-perdata-sekaligus-dipidana-penipuan.html
9) https://hulondalo.id/unsur-pidana-dalam-hutang-piutang
10)https://business-law.binus.ac.id/konsultasi-hukum/tentang-utang-piutang/
11)http://konsultanhukum.web.id/bisa-tidak-seseorang-dipidana-karena-tidak-mampu-membayar-utang/
13)https://www.dl-advokat.com/2019/10/inilah-4-upaya-hukum-ketika-ingin.html
*Artikel ini ditulis oleh Legal Assistant kami, Anggi Herman, SH.
PRAYOGO ADVOCATEN Law Firm memiliki pengalaman luas dalam menangani utang piutang dan pemulihan aset sebagai pengacara utang piutang. Jangan biarkan masalah utang membebani Anda lebih lama lagi, ambil langkah proaktif sekarang untuk menyelesaikan masalah ini secara efektif.
DHP Lawyers, Copyright 2020.
Corporate Legal | Litigation | Debt & Asset Recovery
Temukan kami di Social Media
24 Nov 2020